Mohon mengisi form komentar...guna perkembangan Blog ini

Minggu, 28 Maret 2010

Patung Dirgantara,Jakarta,Indonesia


Patung Dirgantara

Patung ini terletak di Jalan Gatot Subroto atau berseberangan dengan Markas Besar Angkatan Udara Republik Indonesia saat itu (Wisma Aldiron). Kebanyakan orang terutama warga Jakarta mengenal patung tersebut sebagai Patung Pancoran, sebenarnya patung ini bernama Patung Dirgantara.
Ide pembuatan patung ini tercetus langsung oleh Presiden Soekarno, karena beliau melihat keberanian atau kesatriaan dalam hal kedirgantaraan Indonesia. Namun bukan kendaraan/pesawatnya yang ditekan dalam pembuatan patung ini, melainkan dilihat dari sisi manusianya yang mempunyai sifat jujur, berani, dan bersemangat mengabdi kepada negara. Hingga dilambangkan dalam bentuk manusia yang mempunyai semangat keberanian bangsa Indonesia untuk menjelajah angkasa. Perancang Patung Dirgantara adalah Edhi Sunarso dan dikerjakan oleh pematung keluarga Arca Yogyakarta pimpinan Edhi Sunarso dengan lama pembuatan 1 tahun (1964 – 1965).
Patung ini terbuat dari perunggu, mempunyai berat 11 Ton dan terbagi dalam potongan-potongan yang masing-masing potongan beratnya 1 ton. Dalam menyusun potongan-potongan patung tersebut menggunakan alat pemasangan sederhana yaitu dengan menggunakan derek tarikan tangan. Selama proses pemasangan patung tersebut, Bung Karno selalu menungguinya hingga cukup merepotkan personil keamanan (aparat negara) dalam menjaga orang no.1 Indonesia ini. Dengan biaya pemasangan dari kantong pribadinya serta tekad yang bulat agar patung tersebut selesai dipasang, Bung Karno rela menjual sebuah mobil pribadinya. 
Pengerjaannya sempat mengalami keterlambatan karena peristiwa Gerakan 30 September PKI di tahun 1965.
Rancangan patung ini berdasarkan atas permintaan Bung Karno untuk menampilkan keperkasaan bangsa Indonesia di bidang dirgantara. Penekanan dari desain patung tersebut berarti bahwa untuk mencapai keperkasaan, bangsa Indonesia mengandalkan sifat-sifat Jujur, Berani dan Bersemangat

Pada akhirnya Patung Dirgantara selesai terpasang di akhir tahun 1966.

Tugu Selamat Datang,Jakarta,Indonesia

Tugu selamat Datang

Patung atau Tugu Selamat Datang di depan Hotel Indonesia ini dibuat dalam rangka persiapan penyelenggaraan ASIAN GAMES ke IV di Jakarta pada tahun 1962. Tujuan pembangunan patung ini adalah untuk menyambut tamu-tamu yang tiba di Jakarta dalam rangka pesta olah raga tersebut. Patung tersebut menggambarkan dua orang pemuda-i yang membawa bunga sebagai penyambutan tamu.
Patung ini terdiri dari tugu setinggi lebih kurang 30 meter dari tanah dengan sepasang pemuda pemudi diatasnya sedang melambai tangan penuh semangat.Tinggi patung dari kepala sampai kaki 5 meter. Sedangkan tinggi seluruhnya dari kaki hingga tangan yang melambai adalah 7 meter. Tugu/patung ini ditempatkan di tengah bundaran besar di tengah persimpangan jalan, pertemuan Jl. Sudirman dan Jl. MH. Thmrin, Jakarta. Bundaran itu sendiri berupa kolam air mancur yang amat indah.
Adapun Tugu/patung yang terbuat dari Perunggu itu diresmikan oleh Presiden Soekarno pada Tahun 1962. Sketsa atau rancangan Patung Selamat Datang buat oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Henk Ngantung, dan pelaksana pembuatannya dikerjakan oleh Edhi Sunarso dalam kurun waktu satu tahun.

Bioskop Megaria XXI,Jakarta

BIOSKOP MEGARIA adalah bioskop tertua dan merupakan satu-satunya bangunan besar bergaya arsitektur Art Deco di Jakarta yang masih bertahan.Peninggalan arsitektur ini merupakan Cagar Budaya Kelas A, mengingat usianya yang sudah lebih dari 50 tahun, berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 475 Tahun 1993. Bioskop ini terletak di sudut Jalan Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, lokasi bioskop Megaria sangat strategis, karena merupakan pertemuan dari arah Bundaran Hotel Indonesia, Cikini, Matraman, dan Manggarai.

Bioskop yang awalnya bernama Metropole ini dibangun pada 11 Agustus 1949 dan selesai pada 1951. Peresmian bioskop dihadiri oleh Rahmi Rachim, istri Wakil Presiden Mohammad Hatta; Sultan Hamengkubuwono IX (1912 – 1988), dan Haji Agus Salim (1884 – 1954), dengan menampilkan film Annie Get Your Gun (George Sidney, 1950) sebagai pemutaran perdana.

Banyak orang mengira bahwa bioskop ini dirancang oleh arsitek Belanda, Johannes Martinus (Han) Groenewegen. Namun sebenarnya, bioskop Metropole dirancang oleh Liauw Goan Seng (sebelum dikoreksi cucunya, Ifke M. Laquais pada 2007, Liauw Goan Seng disebut Lauw Goan Sing) yang meninggalkan Indonesia pada 1958 untuk pindah ke Belanda ketika terjadi naturalisasi. Oleh Liauw Goan Seng, bioskop Metropole dirancang dengan gaya arsitektur Art Deco—dari kata Art Decorative—sebagai bagian perkembangan arsitektur dunia Art Nouveau. Tidak seperti Art Nouveau yang ditandai dengan banyaknya ornamen dekoratif, seperti kaca mozaik, gambar, serta ukiran, unsur kerumitan pada Art Deco jauh berkurang dan menjadi lebih sederhana.

Selain kemegahan arsitektur, kesejukan ruangan, dan fasilitas lain dalam kompleksnya, faktor penting yang membuat bioskop Metropole menjadi salah satu bioskop kelas satu saat itu adalah karena bioskop ini memutar film-film populer Amerika. Dari War and Peace (King Vidor, 1956) sampai Gone with The Wind (Victor Fleming, 1939), maupun aksi si pirang Marilyn Monroe atau Robert Mitchum pernah dinikmati di gedung bioskop ini.

Pada awal 1950-an itu, sebagai salah satu bioskop berkelas, bioskop Metropole juga tergabung dalam organisasi antar bioskop kelas satu. Salah satu organisasi yang paling terkenal adalah United Cinemas Combination, yang terdiri dari bioskop Menteng, Astoria, Capitol, Cinema Grand, Happy, Sin Thu, dan Globe. Bioskop Metropole sendiri, bersama Bioskop Cathay, Garden Hall, Mayestic, Orion, Roxy, dan Podium tergabung dalam Independent Cinemas.[13] Bioskop-bioskop kelas satu itu memutar film-film produksi Paramount, United Artists, J. Arthur Rank, maupun MGM (Metro Goldwyn Mayer).[14] Bioskop Metropole sendiri banyak memutar film-film produksi MGM.

Namun banyaknya film-film Amerika yang diputar di bioskop Metropole, tak mencegah bioskop ini berperan penting dalam perkembangan film Indonesia. Pada 1955, film Krisis (Usmar Ismail, 1955) diputar di bioskop Metropole. Pemutaran film ini merupakan salah satu fenomena dalam sejarah film Indonesia. Awalnya filmKrisis, buah karya Usmar Ismail (1921 - 1971) yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Film Indonesia, hendak diputar di Capitol Theater.Pada 1950-an itu, bahkan sampai 1970-an, memutar film Indonesia di bioskop kelas satu sangat sulit karena film Indonesia hanya diputar di bioskop-bioskop kelas C.[16] Keyakinan Usmar Ismail atas Krisis kemudian ditampik dengan hinaan oleh Weskin, manajer Capitol Theater hingga kabarnya, Usmar Ismail tak bisa menahan diri lalu memukulnya. FilmKrisis lalu disambut Lie Khik Hwie, manajer utama Bioskop Metropole, sekalipun perwakilan MGM di Indonesia keberatan. Lie Khik Hwie tak gentar, ia mengatakan bahwa MGM yang tak memiliki saham sesenpun tak berhak mengaturnya, dan mengancam akan merobek kontrak dengan MGM. Pihak MGM lalu membiarkan film Krisismenggeser jadwal film-film distribusinya, dan ternyata film itu sukses besar. Memecahkan rekor penonton film Terang Boelan (Albert Balink, 1937), Krisis menjadi film Indonesia pertama yang bisa sukses di bioskop kelas satu, hingga diputar selama lima minggu, melebihi film Barat.

Sementara pada 1970, bioskop Metropole, yang kala itu sudah berganti nama menjadi Megaria, juga menjadi salah satu bioskop penunjang pelaksanaan Festival Film Asia ke-16 pada April – Mei 1970, di mana Jakarta menjadi tuan rumah festival. Selain Bioskop Megaria, bioskop lain penunjang festival tersebut adalah Apollo, Star, City, Gelora, Menteng, Royal, Krekot, Satria, dan Orient.

Bioskop Megaria—yang kini bernama Metropole XXI—memang punya sejarah sendiri atas rangkaian penggantian namanya. Pada 1960, mengikuti perintah Presiden Soekarno (1901-1971), bioskop Metropole mengganti namanya yang berbau asing menjadi bioskop Megaria. Kemudian sepanjang Orde Baru sempat berganti nama menjadi Megaria Theatre. Pada 1989, ketika gedung bioskop ini disewakan pada jaringan 21 Cineplex, namanya berubah menjadi Metropole 21, sempat berganti kembali menjadi Megaria 21, sebelum kemudian pada 2008—usai berita penjualan bioskop yang menggemparkan—kembali dipugar oleh 21 Cineplex dan berganti nama menjadi Metropole XXI hingga kini. Namun sampai sekarang, orang-orang tetap akrab memanggilnya sebagai bioskop Megaria.

Saat itu, bioskop Megaria termasuk bioskop yang masih bisa menahan penggulungan layar. Nasibnya masih lebih baik daripada bioskop-bioskop lain, walau jumlah penonton masih 30 persen dari kapasitas kursi. Sekalipun kabarnya, lokasi strategis dan lahannya yang luas sudah diincar banyak pengusaha untuk pertokoan dan perkantoran.

Bioskop Megaria lalu mengikuti jejaknya pada akhir 1986. Tetapi hanya dalam memperbanyak layar, tidak memenggal ruangan, karena yang digunakan adalah gedung lain yang ada di belakang bioskop, sehingga bioskop Megaria memiliki dua studio, Megaria I dan II. Tetapi nasib bioskop Megaria tak sebaik bioskop Kartika Chandra. Kapasitas Megaria I tetap saja besar, hanya 300 – 400 penonton yang berkunjung dari 1000-an lebih kursi yang tersedia. Penonton di Megaria II pun tak melebihi 150 orang untuk empat kali pertunjukan. Agar balik modal, saat itu Megaria I dan II harus bisa menyedot 500 dan 200 penonton.

Perubahan pada tampak depan Bioskop Megaria 21, setidaknya pada 2000-an, hanya pada keberadaan enam papan reklame film. Selain itu, tak ada perubahan berarti selain beralihnya fungsi ruang kecil di depan pintu utama, yang semula loket tiket, menjadi tempat pijat refleksi, karena penjualan tiket kemudian dilakukan di dalam gedung. Ruang dansa di lantai atas gedung menjadi tempat bola sodok. Selain itu, tempat toko-toko tekstil kini menjadi Barber Shop Megaria, Pempek Megaria, wartel, rumah makan Sop Buntut dan Ayam Kambalijo. Di gedung belakang adalah Studio 5 dan 6. Gedung ini semula adalah perumahan militer. Bagian sampingnya, yang menghadap Jalan Diponegoro, sebelum disewa Giant Supermarket sempat disewa oleh Hero Supermarket. Sementara itu, restoran ayam bakar yang ada di belakang gedung utama saat ini, kabarnya sudah ada sejak 1970-an.

Bagian lain dari gedung bioskop Megaria boleh saja dihancurkan, yaitu pusat belanja, restoran dan lainnya, karena tidak termasuk cagar budaya. Namun jika calon pemilik baru nanti akan membongkar gedung bioskop tersebut, Pemda DKI akan melawan dan mengenakan sanksi.

Pada 2008, semua kecemasan itu sirna. Bioskop Megaria batal dijual pemiliknya, lalu 21 Cineplex memperpanjang sewanya, gedung direstorasi, dan interiornya diubah sekelas Cinema XXI—kelas baru bioskop dari jaringan 21 Cineplex. Bioskop Megaria kemudian berganti nama asalnya, dengan dibubuhi angka 21 romawi, menjadi Metropole XXI. Perubahan pun dilakukan pada tampak luarnya. Papan reklame yang semula menutup sebagian sisi muka gedung, kini dicopot. Sementara tulisan Metropole dengan huruf berjajar ke bawah yang dulu ditanggalkan, kini digunakan kembali. Kedua perubahan itu membuat bioskop kembali terlihat seperti masa awal berdirinya. Bioskop Metropole kini tampil segar dengan wajah lama, setia menemani warga ibukota menjalani sejarahnya.

Selasa, 16 Maret 2010

Kebon Binatang Ragunan,jakarta


Kebun Binatang Ragunan adalah sebuah kebun binatang yang terletak di daerah Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Indonesia. Kebun binatang seluas 140 hektar ini didirikan pada tahun 1864. Di dalamnya, terdapat berbagai koleksi yang terdiri dari 295 spesies dan 4040 spesimen.
Ragunan sempat ditutup selama sekitar tiga minggu sejak 19 September 2005 karena hewan-hewan di dalamnya ada yang terinfeksi flu burung, namun dibuka kembali pada 11 Oktober.
Kebun Binatang Ragunan merupakan salah satu alternatif untuk Anda. Terletak di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kita dapat mengenalkan berbagai macam binatang kepada anak-anak sehingga mereka dapat melihat secara langsung binatang-binatang yang mungkin selama ini hanya dilihat di televisi atau pada buku.


Monumen Pancasila Sakti,Jakarta

Monumen Pahlawan Revolusi dibangun atas gagasan Presiden ke-2 Indonesia, Soeharto. Dibangun diatas tanah seluas 14,6 hektar. Monumen ini dibangun dengan tujuan mengingat perjuangan para Pahlawan Revolusi yang berjuang mempertahankan ideologi negara Republik Indonesia, Pancasila dari ancaman ideologi komunis.
Monumen Pancasila Sakti dibangun diatas areal tanah seluas 9 hektar. Daerah ini tadinya merupakan perkebunan karet yang berbatasan dengan Lapangan Udara Halim Perdana Kusuma. Ditempat ini pula terjadi peristiwa yang mengenaskan dengan ditemukannya 7 (tujuh) jenazah Pahlawan Revolusi yang setia kepada Pancasila dalam peristiwa penghianatan G-30-S/PKI tahun 1965.
Daerah Lubang Buaya mulai dikenal karena selama beberapa bulan menjelang 30 September 1965 tempat ini dijadikan / digunakan oleh PKI dan ormas-ormasnya untuk mengadakan latihan kemiliteran.
Keenam pahlawan revolusi tersebut adalah:



Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani,

Mayjen TNI R. Suprapto

Mayjen TNI M.T. Haryono

Mayjen TNI Siswondo Parman

Brigjen TNI DI Panjaitan

Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo

Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tendean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut.