Mohon mengisi form komentar...guna perkembangan Blog ini

Senin, 15 Februari 2010

Sarinah Departement Store,Jakarta,Indonesia


Sarinah adalah department store tertua di Indonesia yang didirikan Bung Karno pada 15 Agustus 1962. Nama Sarinah diambil dari nama pengasuh kesayangan sang proklamator, Mbok Sarinah, yang menurut pengakuan Bung Karno dalam buku Bunga Rampai Perjalanan Sang Dewi, adalah sosok penuh kasih yang mendidik dan membuatnya mengerti bahwa segala sesuatu di Indonesia bergantung pada rakyat jelata.
Namun, seiring berjalannya waktu, Sarinah seakan terkikis zaman. Dulu begitu megah, tegak berdiri dengan segala kebanggaannya, kini harus bersaing dengan banyak peritel raksasa mancanegara yang masuk ke Indonesia.
Pengunjung harian Sarinah mencapai angka rata-rata 4.000 per hari, 2.000 di antaranya melakukan transaksi Rp200.000 sehingga omzet harian Sarinah kurang lebih Rp400 juta. Dalam setahun angka itu berkumulasi menjadi Rp140-160 miliar.Tapi, dari pengunjung yang datang kebanyakan hanya orangorang yang bekerja di daerah sekitaran Thamrin.

Jalan Surabaya,Pasar Barang Antik,Menteng,JakartaIndonesia


Jalan surabaya,menteng,Jakarta Pusat merupakan pasar barang antik yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Disepanjang jalan Surabaya (Surabaya Street) berdiri kios-kios yang menjual barang – barang antik seperti boneka wayang, porselen, patung kayu, topeng, peralatan makan dari kuningan dan perak, lampu antik, pajangan logam, ornamen-ornamen kuno, telepon antik, kamera kuno, kain tenun kuno, piringan hitam, dan masih banyak lagi.
Pasar barang antik jalan Surabaya (Surabaya Street) sudah berdiri sejak tahun 1974 yang peresmianya dilakukan oleh Ali Sadikin, Gubernur Jakarta pada masa itu.Bahkan, Presiden Amerika Serikat (AS) Bill Clinton pernah mengunjungi pasar barang antik itu beberapa waktu lalu. Bill Clinton bahkan menyusuri pasar itu mulai dari ujung jalan pertama kios sampai ujung jalan kios terakhir.
Pasar Antik Surabaya telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta selain sebagai tempat jual beli barang bernilai sejarah, juga sebagai lokasi wisata yang patut dikunjungi. Di tempat itu dapat ditemukan barang antik terbuat dari kayu, logam kuningan, porselin, wayang golek, lukisan, dan barang suvenir lainnya yang sudah berusia di atas 60 tahun. Salah satu barang antik yang masih terawat baik dan dijual cukup murah di lokasi tersebut yakni sangkur terbuat dari besi baja diproduksi pada 1911 dan dijual hanya Rp 500.000.

Minggu, 14 Februari 2010

Taman Situ Lembang,Jakarta,Indonesia


Taman Situ Lembang merupakan salah satu taman tertua di Jakarta. Taman Situ Lembang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Taman dengan luas lahan 11.500 m2 ini terletak tidak jauh dari Taman Suropati yang masih berada dalam satu kawasan.

Taman ini memiliki danau kecil yang airnya berasal dari sumber air alam. Selain air mancur, Situ Lembang juga dipercantik dengan adanya tanaman Teratai sebagai hiasannya. Banyaknya pohon besar juga membuat suasana di sekitar situ ini menjadi rindang. Tidak heran banyak warga, terutama kawula muda, yang menjadikan Situ Lembang sebagai tempat bercengkrama.

Taman Situ Lembang dikelilingi rumah-rumah mewah yang berada pada kawasan elit di Menteng Jakarta Pusat.

Disekitar taman Situ Lembang terdapat puluhan merpati jinak dan beberapa monyet peliharaan yang dapat diberi makan oleh pengunjung.

Disekitar taman beberapa penjual menyediakan berbagai jenis makanan dan minuman yang dapat dinikmati oleh pengunjung. Biasanya ada beberapa pengamen yang mendatangi pengunjung dan menyanyikan sebuah lagu. Bila tidak berkenan maka anda dapat menolaknya dengan halus.

Lokasi
Jalan Situ Lembang, Kawasan Menteng, Jakarta Pusat – Indonesia

Kamis, 11 Februari 2010

Museum Gajah,Jakarta,Indonesia


Museum Nasional Republik Indonesia atau Museum Gajah, adalah sebuah museum yang terletak di Jakarta Pusat dan persisnya di Jalan Merdeka Barat.
Museum Nasional Republik Indonesia adalah salah satu wujud pengaruh Eropa, terutama semangat Abad Pencerahan, yang muncul pada sekitar abad 18. Gedung ini dibangun pada tahun 1862 oleh Pemerintah Belanda di bawah Gubernur-Jendral JCM Radermacher sebagai respons adanya perhimpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan menelaah riset-riset ilmiah di Hindia Belanda. Museum ini diresmikan pada tahun 1868, tapi secara institusi cikal bakal Museum ini lahir tahun 1778, saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh pemerintah Belanda.

Kemudian pada 17 Februari 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia yang mengelolanya, menyerahkan Museum kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu pengelolaan museum resmi oleh Direktorat Jendral Sejarah dan Arkeologi, di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi mulai tahun 2005, Museum Nasional berada di bawah pengelolaan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.

Museum yang kini menyimpan koleksi sebanyak 109.342 benda budaya ini di depannya terdapat sebuah patung gajah dari perunggu hadiah raja Chulalongkorn dari Siam (Thailand) ketika mengunjungi Batavia pada tahun 1871. Oleh sebab itu Museum Nasional juga disebut “Museum Gajah”.

Museum Gajah banyak mengkoleksi benda-benda kuno dari seluruh Nusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuno, prasasti, benda-benda kuno lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorikan ke dalam etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatic, relic sejarah dan benda berharga.

Waktu Buka:
Museum buka Selasa – Minggu dari pukul 8.30 – 14.30 WIB; hari Jumat buka dari pukul 8.30 – 11.30 WIB; dan hari Sabtu buka dari pukul 8.30 – 13.30 WIB. Hari Senin/Besar tutup

Angkutan umum yang melalui Museum
Bus Way, Blok M – Kota
Bus Way, Pulogadung – Monas
Patas AC 79, Kp. Rambutan – Kota

Tugu Proklamasi,Jakarta,Indonesia


Tugu Proklamasi atau Tugu petir adalah tugu peringatan proklamasi kemerdekaan RI. Tugu Proklamasi berdiri di tanah lapang kompleks Taman Proklamasi di Jl. Proklamasi (dahulunya disebut Jl. Pegangsaan Timur No. 56), Jakarta Pusat. Pada kompleks juga terdapat monumen dua patung Soekarno-Hatta berukuran besar yang berdiri berdampingan, mirip dengan dokumentasi foto ketika naskah proklamasi pertama kali dibacakan.

Setelah era reformasi, selain menjadi tempat yang spesial untuk acara peringatan Hari Kemerdekaan RI tiap tahunnya, lokasi ini pun menjadi tempat pilihan bagi berkumpulnya para demonstran untuk menyuarakan pendapat-pendapatnya.

Naskah Proklamasi kemerdekaan RI dibacakan untuk pertama kalinya oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945 di halaman kediaman Soekarno Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Rumah bersejarah ini, yang dulu disebut "Gedung Proklamasi", sudah tidak ada lagi sejak tahun 1960, Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta (DCI) Henk Ngantung agar rumah tersebut direnovasi. Waktu itu Presiden Soekarno sudah bermukim di Istana Negara. Ternyata, renovasi tidak terealisasi.

Di lokasi ini Presiden Soekarno pada tanggal 1 Januari 1961 melakukan pencangkulan pertama tanah untuk pembangunan tugu, "Tugu Petir", yang kemudian disebut tugu proklamasi. Tugu ini berbentuk bulatan tinggi berkepala lambang petir, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara (PLN). Tulisan yang kemudian dicantumkan, "Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta".

Sekitar 50 meter di belakang tugu ini dibangun gedung yang menandai dimulainya pelaksanaan "Pembangunan Nasional Semesta Berencana". Hanya bangunan ini yang berdiri di lokasi tersebut. Satu dan satu-satuya gedung yang ada sampai sekarang.

Di antara bangunan yang terdapat di lokasi ini, hanya "Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia" yang langsung terkait dengan nuansa revolusi karena diresmikan tanggal 17 Agustus 1946 di masa Sekutu masih berkuasa. Di atas tulisan yang dipahat di bahan marmer itu ada tulisan lain, "Atas Oesaha Wanita Djakarta". Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi dan peta Indonesia juga dari marmer. Bentuk tugu ini mirip lambang Polda Metropolitan Jakarta asalkan dibuang kepalanya yang bergambar api berkobar.

Kisah tugu ini diceritakan oleh sang pembuat, Dra Yos Masdani Tumbuan, dalam buku "19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat Semesta", hasil wawancara dengan Titiek WS. Diungkapkan, pada bulan Juni 1946, Yos Masdani sebagai seorang mahasiswi anggota Ikatan Wanita Djakarta diminta membuat tugu peringatan proklamasi. Permintaan itu disampaikan Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah (kemudian hari dikenal sebagai Ny Mien Sudarpo Sastrosatomo). Tidak disediakan dana, kecuali disebutkan nama pelaksananya, yaitu Aboetardjab dari Biro Teknik Kores Siregar, mantan mahasiswa Tehnische Hoge School (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Dana harus dicari bersama kawan-kawan lain.

Pada menjelang peresmian, ada hambatan karena Wali Kota Jakarta Suwiryo melarang peresmian pada tanggal 17 Agustus 1946. Ada larangan dari Sekutu di Jakarta. Mr Maramis yang hadir dalam pertemuan ini pun khawatir, kalau dipaksakan, akan terjadi tragedi seperti di Amritsar (India).

Sutan Sjahrir tanggal 16 Agustus 1946 tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Ia menganggap peresmian itu ide yang bagus dan ia bersedia meresmikannya. Pada waktu hari peresmian, memang patroli Sekutu dan Gurkha hilir-mudik, tetapi tidak terjadi keributan. Mungkin karena kehadiran Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Peristiwa mengejutkan terjadi tanggal 14 Agustus 1960. Surat kabar Keng Po memberitakan, Angkatan ’45 menginginkan agar tugu peringatan yang mereka sebut "Tugu Linggarjati" harus dimusnahkan. Pendapat yang aneh karena Perjanjian Linggarjati terjadi pada 10 November 1946, tiga bulan setelah tugu peringatan diresmikan. Menurut Yos Masdani, waktu itu komunis punya kekuatan untuk mengubah wajah sejarah. Tanggal 15 Agustus 1960, tugu peringatan itu lenyap.

Bersama sejumlah tokoh wanita, antara lain Mr RA Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi, menemui Gubernur Sumarno di Balaikota. Dalam kesempatan ini, Gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu Linggarjati. Atas saran para wanita yang hadir, lempengan marmer itu disampaikan kepada Yos Masdani.

Tahun 1968 kepada Gubernur Ali Sadikin disampaikan usulan agar tugu proklamasi dibangun kembali. Usul ini ditanggapi positif, terbukti urusan pemugaran sampai ke Sekretariat Negara. Pemugaran tertunda karena Yos Masdani berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar. Ia menolak tawaran Cornell University yang akan membeli marmer-marmer itu dengan harga tinggi.

Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu Proklamasi diresmikan Menteri Penerangan Budiardjo di lokasi asal, dihadiri banyak tokoh masyarakat dan tokoh politik. Di antara yang hadir adalah mantan Wakil Presiden M. Hatta (mengundurkan diri 1 Desember 1956).

Pada 17 Agustus 1980, Presiden Soeharto meresmikan monumen Soekarno-Hatta membacakan naskah proklamasi.

Gereja Katedral Jakarta


Gereja Katedral Jakarta (nama resmi: Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming) adalah sebuah gereja di Jakarta. Gedung gereja ini diresmikan pada 1901 dan dibangun dengan arsitektur neo-gotik dari Eropa, yakni arsitektur yang sangat lazim digunakan untuk membangun gedung gereja beberapa abad yang lalu.

Gereja yang sekarang ini dirancang dan dimulai oleh Pastor Antonius Dijkmans dan peletakan batu pertamanya dilakukan oleh Provicaris Carolus Wenneker. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Cuypers-Hulswit ketika Dijkmans tidak bisa melanjutkannya, dan kemudian diresmikan dan diberkati pada 21 April 1901 oleh Mgr. Edmundus Sybradus Luypen, SJ, Vikaris Apostolik Jakarta.

Berbagai peristiwa mewarnai lebih dari 100 tahun berdirinya Gereja Katedral ini. Pada tahun 1924 untuk pertama kalinya seorang Uskup ditahbiskan dalam Gereja Katedral, yaitu Mgr A. Van Velsen SJ dan tahun berikutnya sidang pertama Majelis Wali-wali Gereja Indonesia diadakan dalam Pastoran Katedral.

Kardinal Agaginian, seorang Armenia, mengunjungi Jakarta pada tahun 1959 dan diterima dengan meriah oleh Gereja dan pimpinan Negara RI. Pembicaraannya dengan para waligereja dan pembesar ordo yang berkarya di seluruh Indonesia penting bagi masa depan. Hasilnya diumumkan pada tahun 1961 : Gereja di Indonesia bukan daerah misi lagi, melainkan Gereja Bagian yang berdiri sendiri.

Vikaris Apostolik Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra, yang ditahbiskan di Katedral Jakarta oleh Duta Besar Vatikan pada tanggal 23 April 1953, sepuluh tahun tahun kemudian diangkat menjadi Uskup Agung. Pada saat itu ,1962, Keuskupan Agung Jakarta mencakup 14 Paroki dengan jumlah umat 32.599 orang. Propinsi Gerejani Jakarta mencakup juga keuskupan lain yaitu Keuskupan Bogor dan Keuskupan Bandung.

Pada tahun 1963/1965 para Uskup Indonesia ikut serta dalam konsili Vatikan II, yang membawa banyak perubahan dalam pastoral dan liturgi Gereja. Waktu para Uskup masih berada di Roma, di Jakarta pecah G30S PKI, sehingga Katedral perlu dijaga oleh para Pemuda Katolik dan tentara.

Peristiwa lainnya yang menggembirakan bagi umat Jakarta adalah Kunjungan Paus Paulus VI (1970) dan Paus Yohanes Paulus II (1989) ke Indonesia yang disambut oleh Mgr Leo Soekoto. Ibadat dirayakan dengan meriah oleh Paus Paulus VI bersama banyak Uskup di Katedral. Pada waktu kunjungan Paus Yohanes Paulus II di Keuskupan Agung Jakarta sedang berlangsung Sinode Pertama.

Seiring dengan masa 100 tahun ini, pada tahun 1988 dilakukan pemugaran untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan dan membersihkan lumut serta pengecatan ulang. Disamping itu juga dibangun gedung Pastoran dan gedung pertemuan yang baru dibagian belakang gereja. Pada 13 Agustus 1988, purnakarya pemugaran gereja Katedral diresmikan oleh Bapak Soepardjo Roestam yang pada saat itu beliau menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat R.I, hadir mewakili Presiden Soeharto. Acara dimeriahkan dengan konser orgel oleh bapak Hub Wolfs, organis dari basilica Santo Servatius di kota Maastrich dan oleh Pastor Alfons Kurris Pr, dosen di konservatorium di kota yang sama. Mgr Leo Soekoto memberkati orgel pipa yang baru dan megah itu, sebuah orgel yang mempunyai 15 register dan diperlengkapi dengan 1000 buah pipa. Berselang-seling kedua organis yang professional itu memperdengarkan karya-karya klasik, yang oleh komponis-komponis seperti Vivaldi, Bach dan Cesar Frank diciptakan khusus untuk instrumen rajawi itu.

Ketika gedung ini pertama kali dibangun dulu, para pejabat genie (pasukan zeni) waktu itu menilai gedung gereja yang menghabiskan biaya 628.000 gulden rancangan P.A Dijkmans tersebut sebagai "gedung yang terlampau kuat" mengingat struktur gedung dan material yang digunakan sungguh-sungguh pilihan yang terbaik. Maka sampai sekarang - 100 tahun sesudahnya - gereja Katolik utama di Jakarta tetap berdiri tegak.

Senin, 08 Februari 2010

Museum Sumpah Pemuda,Jakarta,Indonesia


Museum Sumpah Pemuda adalah sebuah museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang berada di Jalan Kramat Raya No. 106, Jakarta Pusat dan dikelola oleh departemen Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia.

Bangunan di Jalan Kramat Raya 106, tempat dibacakannya Sumpah Pemuda, adalah sebuah rumah pondokan untuk pelajar dan mahasiswa milik Sie Kok Liong.

NamaBangunan Baru :
Museum Sumpah Pemuda

Nama Bangunan Lama :
Indonesische Club / Indonesia Clubgebouw

Alamat :
Jln. Kramat Raya No. 106
Kel. Kramat

Wilayah :
Kec. Senen
Jakarta Pusat (Jakarta 10450)

Pemilik :
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI

Di gedung milik Sie Kok Liong ini pernah tinggal beberapa tokoh pergerakan, seperti Muhammad Yamin, Aboe Hanifah, Amir Sjarifuddin, A.K. Gani, Mohammad Tamzil, atau Assaat dt Moeda. Sejak 1925 gedung Kramat 106 menjadi tempat tinggal pelajar yang tergabung dalam Jong Java. Mereka kebanyakan pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia alias Stovia. Aktivis Jong Java menyewa bangunan 460 meter persegi ini karena kontrakan sebelumnya di Kwitang terlalu sempit untuk menampung kegiatan diskusi politik dan latihan kesenian Jawa. Anggota Jong Java dan mahasiswa lainnya menyebut gedung ini Langen Siswo.

Sejak 1926, penghuni gedung ini makin beragam. Mereka kebanyakan aktivis pemuda dari daerahnya masing-masing. Kegiatan penghuni gedung itu juga makin beragam. Selain kesenian, mahasiswa di gedung ini aktif dalam kepanduan dan olahraga. Gedung ini juga menjadi markas Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), yang berdiri pada September 1926, usai kongres pemuda pertama. Penghuni kontrakan, dengan payung PPPI, sering mengundang tokoh seperti Bung Karno untuk berdiskusi. Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif 12,5 gulden per orang setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu itu. Mereka memiliki pekerja yang mengurus rumah yang dikenal dengan nama Bang Salim.

Pemerintah Hindia-Belanda selalu mengawasi dengan ketat kegiatan rapat pemuda. Pemerintah memang mengakui hak penduduk di atas 18 tahun mengadakan perkumpulan dan rapat. Namun bisa sewaktu-waktu memberlakukan vergader-verbod atau larangan mengadakan rapat, karena dianggap menentang pemerintah. Setiap pertemuan harus mendapat izin dari polisi. Setelah itu, rapat dalam pengawasan penuh Politieke Inlichtingen Dienst (PID), semacam dinas intelijen politik. Rumah 106 ini juga selalu dalam kuntitan dinas intelijen ini, termasuk rapat ketiga Kongres Pemuda II.

Di gedung ini juga muncul majalah Indonesia Raya, yang dikelola PPPI. Karena sering dipakai kegiatan pemuda yang sifatnya nasional, para penghuni menamakan gedung ini Indonesische Clubhuis, tempat resmi pertemuan pemuda nasional. Sejak 1927, mereka memasang papan nama gedung itu di depan. Padahal Gubernur Jenderal H.J. de Graff sedang menjalankan politik tangan besi.

Kegiatan pemuda dialihkan ke Jalan Kramat 156 setelah para penghuni Kramat 106 tidak melanjutkan sewanya pada 1934. Gedung itu lalu disewakan kepada Pang Tjem Jam sebagai tempat tinggal pada 1937-1951. Setelah itu, gedung disewa lagi oleh Loh Jing Tjoe, yang menggunakannya sebagai toko bunga dan hotel. Gedung Kramat 106 disewa Inspektorat Bea dan Cukai untuk perkantoran pada 1951-1970.

Pada 1968, Sunario berprakarsa mengumpulkan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya semula. Tempat ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.

Gedung Kramat 106 sempat dipugar Pemda DKI Jakarta 3 April-20 Mei 1973 dan diresmikan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei 1973 sebagai Gedung Sumpah Pemuda. Gedung ini kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 20 Mei 1974. Dalam perjalanan sejarah, Gedung Sumpah Pemuda pernah dikelola Pemda DKI Jakarta, dan saat ini dikelola Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata

Masjid Istiqlal,Jakarta,Indonesia


Masjid Istiqlal adalah masjid yang terletak di pusat ibukota negara Republik Indonesia, Jakarta. Masjid ini adalah masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Sukarno di mana pemancangan batu pertama, sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961. Arsitek Masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban.

Lokasi masjid ini berada di timur laut lapangan Monumen Nasional (Monas). Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai. Masjid ini mempunyai kubah yang diameternya 45 meter. Masjid ini mampu menampung orang hingga lebih dari dua ratus ribu jamaah.


Sejarah Masjis Istiqlal

Pada tahun 1953 beberapa ulama mencetuskan ide untuk mendirikan masjid megah yang akan menjadi kebanggaan warga Jakarta sebagai ibukota dan juga rakyat Indonesia secara keseluruhan
Mereka adalah KH. Wahid Hasyim, Menteri Agama RI pertama, bersama-sama dengan H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan beserta sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH. Taufiqorrahman.

Pada tanggal 7 Desember 1954 didirikan yayasan Masjid Istiqlal yang diketuai oleh H. Tjokroaminoto untuk mewujudkan ide pembangunan masjid nasional tersebut. Nama Istiqlal diambil dari bahasa Arab yang berarti Merdeka sebagai simbol dari rasa syukur bangsa Indonesia atas kemerdekaan yang diberikan oleh Allah SAW. Presiden pertama RI Soekarno menyambut baik ide tersebut dan mendukung berdirinya yayasan masjid Istiqlal dan kemudian membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal (PPMI).

Pada tahun 1955 Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal mengadakan sayembara rancangan gambar atau arsitektur masjid Istiqlal yang jurinya diketuai oleh Presiden Soekarno dengan hadiah berupa uang sebesar Rp. 75.000; serta emas murni seberat 75 gram. Sebanyak 27 peserta mengikuti sayembara, namun dari seluruh peserta hanya 5 peserta yang memenuhi syarat:
1. F. Silaban dengan rancangannya “Ketuhanan”
2. R. Oetoyo dengan rancangannya “Istighfar”
3. Hans Groenewegen dengan rancangannya “Salam”
4. Mahasiswa ITB (5 orang) rancangannya “Ilham 5”
5. Mahasiswa ITB (3 orang) rancangannya “Chatulistiwa”

Secara keseluruhan pembangunan masjid Istiqlal diselesaikan dalam kurun waktu 17 tahun. Peresmiannya dilakukan oleh presiden Soeharto pada tanggal 22 Februari 1978. Kurun waktu pembangunannya telah melewati dua periode masa kepemimpinan yaitu Orde Lama dan Orde Baru. Pendanaan pembangunan masjid ini pada masa Orde Lama direalisasikan melalui proyek Mandataris sementara pada masa Orde Baru menjadi bagian dari Proyek RePelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Kini masjid Istiqlal berdiri megah di Ibukota Jakarta dan menjadi kebanggaan seluruh masyarakat Indonesia.

Sabtu, 06 Februari 2010

Monumen Nasional,Jakarta,Indonesia


Monas atau Monumen Nasional merupakan icon kota Jakarta. Terletak di pusat kota Jakarta, menjadi tempat wisata dan pusat pendidikan yang menarik bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Monas didirikan pada tahun 1959 dan diresmikan dua tahun kemudian pada tahun 1961. Monas selalu ramai dikunjungi wisatawan untuk melihat keindahan kota Jakarta dari puncak Monas, menambah wawasan sejarah Indonesia di ruang diorama ataupun menikmati segarnya hutan kota seluas kira-kira 80 hektar di tengah kota Jakarta.

Monumen Nasional atau yang dikenal dengan Monas atau Tugu Monas terletak di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, dibangun pada tahun 1960. Monumen Nasional adalah salah satu dari monumen peringatan yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda.

Bentuk Tugu peringatan yang satu ini sangat unik, merupakan batu obeliks yang terbuat dari marmer yang berbentuk lingga yoni simbol kesuburan berdasarkan kebudayaan hindu. Tugu ini menjulang setinggi 132 meter (versi lain mengatakan 137 meter dihitung dengan tinggi ruang yang ada di bawah tanah 5 meter).

Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35 kg. Obor atau lidah api yang menyala-nyala ini merupakan simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia yang tak pernah padam dalam meraih kemerdekaan. Konon pada saat Indonesia merayakan 50 tahun kemerdekaannya pada tahun 1995 sejumlah pengusaha Indonesia menyumbangkan sejumlah emas sehingga berat total emas yang melapisi api kemerdekaan di puncak monas menjadi 50 kilogram. Tugu Peringatan Nasional dibangun di areal seluas 80 hektar. Arsitek yang merancang tugu ini adalah Soedarsono dan Frederich Silaban, dengan konsultan Ir. Rooseno, mulai dibangun Agustus 1959, dan diresmikan 17 Agustus 1961 oleh Presiden RI Soekarno. Monas resmi dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975.

Pelataran puncak dengan luas 11 meter x 11 meter dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling badan evelator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Sementara ke Barat membentang Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas. Dari pelataran puncak, 17 meter lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.Pelataran puncak tugu berupa “Api Nan Tak Kunjung Padam” yang berarti melambangkan Bangsa Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 meter. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45 meter x 45 meter, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan), sementara pelataran cawan melambangkan Yoni (lumbung). Lingga dan yoni tersebut merupakan cerminan simbol kesuburan yang berdasarkan pada kebudayaan Hindu. Keduanya melambangkan symbol perwujudan kesuburan tanah air Indonesia. Semua Alu dan lumbung merupakan alat rumah tangga tradisional yang terdapat di rumah penduduk Indonesia. alu dan lumpang (penumbuk padi) tersebut juga merupakan perwujudan kesuburan dan kemakmuran bangsa Indonesia.

Di dalam bangunan Monumen Nasional ini juga terdapat museum dan aula untuk bermeditasi. Para pengunjung dapat naik hingga ke atas dengan menggunakan elevator. Dari atau Monumen Nasional dapat dilihat kota Jakarta dari puncak monumen. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari, mulai pukul 09.00 - 16.00 WIB.